(Source: weheartit.com)
Malam itu, seperti biasa aku duduk di balkon atas rumahku. Balkon tanpa atap, sehingga aku bisa beradu tatap dengan bintang-bintang. Beginilah yang aku inginkan. Duduk tenang menatap bintang-bintang. Mengingat semua kesibukanku yang akhir-akhir ini membuatku tidak sadar bahwa aku punya kehidupan lain yang perlu aku nikmati. Kehidupan di mana aku bisa dengan tenang membangun mimpi-mimpiku.
Ya, tenang, seperti sekarang.
"Kenapa kau suka sekali duduk dan bengong di sini, sih?" Kata Nara sambil memukul kepalaku.
Nara. Teman dekat-bodohku, yang selalu dengan tiba-tiba muncul saat aku duduk di atap. Rumah kami memang bersebelahan. Sungguh mengganggu suasana. Padahal aku hanya ingin duduk sendiri dengan tenang.
"Kenapa kau suka sekali mengganggu ketenanganku?"
"...karena kalau tidak begitu akan jadi tidak seru."
"Jadi, menggangguku itu seru?"
"Heheheh." Dia terkekek. Senang sekali melihatku kesal sepertinya.
Aku tidak menghiraukannya. Aku kembali diam dan mencoba bertingkah seperti ia tak ada.
Eh, tapi mengapa dia juga diam? Tidak biasanya dia diam seperti ini. Bagi Nara, diam itu mati. Jadi dia tidak suka diam. Ha? Apa dia sudah mati? Oh baguslah kalau dia mati. Tapi...
"Apa maumu?" Aku mulai bicara.
Dia diam. Matanya menatap ke atas. Aku penasaran dan mengikutinya melihat ke atas juga. Aku heran.
"Sejak kapan bintang-bintang itu menarik perhatianmu?" Tanyaku.
"Ternyata, begini ya rasanya..."
"Apa?"
"Duduk diam dan menatap langit." Jawabnya. Aku meliriknya sebentar. Sepertinya dia benar-benar terpesona dengan pemandangan langit bertabur bintang di depannya. Kalau lagi begini, Nara terlihat keren. Aku sempat sedikit tersipu. Ha? Apa yang baru saja kukatakan? Aku sudah gila.
"Heh? Baru sadar dia. Kalau begitu, kau mengerti kan kenapa aku marah-marah? Kau merusak ketenanganku tahu." Kataku. "Jadi kau tidak perlu susah-susah memanjat ke sini lagi."
"Kalau itu, aku nggak bisa janji. Heheheh!" Dia terkekek lagi. Baru saja aku melihat sosok Nara yang kalem dan keren. Lalu dengan cepatnya berubah seperti sedia kala.
"Huh, kalau kau hanya ingin menggangguku, lebih baik kau pulang saja sana." Bentakku.
"Kau yakin tidak akan merasa kesepian kalau aku pergi?" Katanya. Heh? Memangnya, siapa dia? Percaya diri sekali, sih.
"Lalu kau mau apa?"
"Aku ingat kau pernah cerita tentang mimpi. Impian. Apa kau sudah mencapainya?" Tanyanya. Kali ini raut mukanya menunjukkan keseriusan, meski bertanya tanpa melihat ke arahku. Matanya masih menatap langit. Apa bintang-bintang itu sudah benar-benar menarik hatinya?
Lagipula, apa urusannya dengan bertanya tentang impianku? Tapi, melihat rautnya yang serius, aku jadi tidak tega kalau ingin menanggapi pertanyaannya dengan sinis.
"Aku selalu ingin pergi melihat dunia. Nggak cuma di sini. Dan sepertinya belum." Baiklah kali ini pertanyaannya aku tanggapi dengan baik.
"Apa ada suatu tempat yang ingin sekali kau kunjungi?" Sepertinya dia memang sedang ingin serius.
"Inggris. Aku ingin sekali ke sana." Ya, impianku sejak kecil. "Aku mengaguminya. Entah. Perasaan kagum itu muncul sejak aku mulai belajar bahasa Inggris, lalu semakin besar, kekagumanku semakin menguat." Aku semakin bersemangat menceritakannya.
"Keinginanku untuk dapat memijakkan kaki di sana semakin bertambah. Aku ingin melihat Big Ben, melihat kelap-kelipnya London Eye di malam hari, melihat megahnya Buckingham Palace, merasakan ajaibnya Universitas Oxford..." Aku merasakan hal yang aneh menjalar ke seluruh tubuhku. Aku merasa sangat senang menceritakan ini. Aku merasa bersemangat.
"...merasakan udara Inggris di kulitku, melihat orang-orang berbicara dengan aksen yang sangat indah, berjalan di antara orang-orang bersepatu boots dan ber-sweater tebal, dan mengagumi keindahan sejarahnya. Haha. Klise memang. Tapi, keinginanku untuk pergi ke sana, sepertinya tidak akan pernah mati."
"Bagiku, Inggris adalah simbol keeleganan, dan inspirasi." Aku merinding menceritakannya. Ya, memang aku selalu mengagumi negara itu sejak kecil. Aku menghela napas.
"Kekanakan sekali! Hahahahaha. Kau ke Inggris hanya ingin melihat tempat-tempat itu? Hahahahaha." Nara tertawa geli sekali. Apa yang lucu???
"Memangnya kenapa kalau aku ingin melihat tempat-tempat itu?" Aku kesal, sekaligus heran. Tak kusangka ceritaku yang penuh perasaan itu diresponnya dengan tawa.
"Tempat-tempat itu sudah biasa. Apa hanya itu yang kau tahu tentang Inggris? Heheheh." Dia senang sekali menertawakanku.
"Memangnya kenapa? Lalu, kau sendiri, apa kau sudah pernah ke sana?" Aku membalasnya dengan ketus.
"Kau ini kebanyakan melamun ya? Hahahaha." Katanya.
Cukup sudah, aku bersumpah nggak akan cerita tentang mimpiku lagi dengannya.
"Kau tidak mengerti! Aku selalu menaruh mimpi itu di dalam hatiku, di pikiranku. Aku selalu ingin mewujudkannya. Dari dulu, dan aku nggak pernah sembarangan cerita ke siapapun. Bagiku, ini adalah hal yang sangat personal. Ini tentangku, hidupku, impianku. Lagipula, semua tempat di dunia ini istimewa, tidak ada yang biasa atau jelek. Kau tidak mengerti itu."
Aku pergi meninggalkannya sendirian. Kututup jendela kamarku yang biasa kugunakan sebagai akses ke balkon.
Aku merasa sangat sedih. Nara bodooooh! Aaaaaargh!!!!
~
Sudah seminggu aku tidak mendatangi balkon. Selain karena kesibukkanku yang membuatku kehabisan waktu luang, aku masih kesal dengan kejadian malam itu. Kalau aku duduk di balkon lagi, aku tahu Nara pasti akan datang. Jadi malam ini aku hanya duduk di kamar. Sesekali melihat ke luar jendela. Bintangnya banyak. Aku jadi penasaran. Kalau aku nggak ada, apa Nara tetap datang dan menatap bintang-bintang?
Sudah hampir tengah malam dan aku belum bisa tidur. Sebenarnya apa yang kutunggu??
Kemudian aku mendengar suara dari luar jendela. Suara apa itu? Membuatku takut saja. Ini sudah hampir tengah malam, kan? Apakah itu maling? Oh tidak. Aku masih muda, aku belum mau mati, aku masih ingin mencapai mimpi-mimpiku. Lagipula, apa yang mau dicuri dari gadis seperti aku? Apa yang harus kulakukan?? Aaargh!
Lalu aku memberanikan diri mengintip lewat jendela. Sungguh mengagetkan. Maling itu ternyata Nara. Tunggu, tapi dia bukan maling. Iya benar itu Nara. Apa yang dia lakukan di sini? Ini kan tengah malam.
Kuperhatikan gerak-geriknya dari jendela. Sebentar-sebentar dia menguap, menepuk nyamuk, dan mengulet. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Salah sendiri duduk di luar malam-malam. Jadi dinyamukkin, kan. Lalu dia mengambil ponselnya. Sepertinya dia menelepon seseorang.
Benar saja. Dia mengobrol. Sambil tertawa-tawa. Apa yang dibicarakannya sih? Dan kenapa mengobrol sekeras itu malam-malam begini?? Kulihat jendela kamar tetanggaku menyala. Lalu jendela kamar tetanggaku yang berikutnya. Eh, ponselku getar, ada pesan.
"Kimy, bisakah kau berhenti mengobrol malam-malam begini?" Ternyata ayahku. Dia bahkan sampai mengira aku yang berisik.
Sudah cukup. Kalau dibiarkan terus, bisa-bisa besok pagi aku yang disalahkan oleh semua tetanggaku karena mengganggu tidur mereka.
Aku memanjat ke luar jendela.
"Kenapa kau matikan?" Ucap Nara. Ups, aku merampas ponselnya di tengah obrolannya. Habis, aku kesal, sih.
"Kau mengganggu orang-orang tidur, tahu. Setahuku tidak ada deh, orang yang datang ke rumah orang lain dan mengobrol lewat telepon seberisik itu tengah malam."
"Kali ini kau tahu kalau ternyata orang seperti itu ada, kan? Heheheh." Katanya. Masih tertawa lagi.
"Sudah, kau pulang sana."
"Kau benar-benar ingin aku pulang?"
"Memangnya aku pernah memintamu untuk datang? Lagipula aku masih kesal padamu."
"Baiklah aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menertawakanmu. Tapi melihat wajah antusiasmu yang aneh, aku jadi tidak tahan untuk tertawa. Hahaha." Dia benar-benar tidak bisa berhenti menertawakanku rupanya.
"Kalau kau hanya ingin menertawakanku, lebih baik kau pulang saja. Aku ngantuk." Kataku sambil berjalan menjauhinya. Sebenarnya aku nggak sengantuk itu, sih.
Tapi dia menarik tanganku.
"Tapi aku ingin memberikanmu ini. Kau ke mana saja sih, tadi? Lama sekali. Aku sampe bosan dan dinyamukkin. Ya sudah jadinya aku telepon saja temanku dan mengobrol."
Ya sudah, jangan menarik tanganku kencang-kencang bisa tidak? Huh, langsung saja aku mengambil gulungan kertas yang dipegang Nara tanpa mengindahkan alasannya.
"Apa ini?"
"Kurasa kau tidak perlu bermimpi lagi." Katanya. Ha? Apa maksudnya?
Kemudian kubaca kertas yang kupegang.
Aku nggak percaya ini.
"Sebenarnya kampung halamanku di sana. Tidak ada salahnya untuk pulang setelah sekian lama." Lanjut Nara.
Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca dan aku dengar sekarang. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Uuuuuuuu~~~~ icaaaa~~~~ uuuuuuu~~~
ReplyDeleteMister potato~~~~ uuuuuuu~~~~
♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡♥♡
itu ngapa ada lope-lope?
Deletengapa gue disorakin???
-___-"
kak boleh tau nama akun facebook atau twitter nya ga? atau akun lainnya? aku suka banget sama tulisan kaka soalnya hehe;) bales ya kak:) please
ReplyDeleteKak aku ngefans banget sama kakak haha:D tulisan2 kakak bagus di blog ini soalnya;;) boleh kali minta pin hehe:p
ReplyDelete