Time to go home...
Alarm yang berbunyi dari ponsel masing-masing membangunkan kami. Pukul 4 pagi. Oh, masih jam 4? Kami tidur lagi. Kebluk memang. Jam setengah lima, kami benar-benar bangun. Mandi, beres-beres, persiapan untuk pulang, kembali ke Jakarta. Nasi uduk pagi itu adalah sarapan terakhir kami di pulau Tidung.
Setelah semua rapi, termasuk rumah yang akan ditinggalkan sudah rapi dan bersih, kami berangkat pulang.
Hey Tidung, thank you for every beautiful piece of experience, memories, and friendship you gave us. You are our inspiration to make another whatever our plans or dreams come true.
Setibanya di Jakarta...
I: "bokap gue ngga bisa jemput. Jalan masuk ke Angke tuh masih banjir."
L: "bokap gue juga ngga bisa ke sini. Kata bokap gue, kita disuruh nyari pos polisi biar bisa dievakuasi."
Bingung gimana caranya pulang. Kami terjebak banjir di Angke. Dermaganya sih, ngga banjir ya, tapi jalan masuknya banjir, bikin kita ngga bisa dijemput siapa-siapa dari rumah. Di sana ngga cuma kami yang kebingungan. Banyak orang yang baru sampai dermaga bingung gimana pulangnya. Bahkan turis asing. Gue diam ngeliatin mereka. Sorry, for the uncomfortable, I hope you guys think about it as a fun experience, kata gue dalam hati. Gue berlalu.
Gue dan teman-teman memutuskan naik odong-odong...
Iya, odong-odong namanya (motor yang belakangnya pake bak, bukan wahana yang biasa dinaikin anak-anak), karena cuma itu yang ada di sana waktu itu, awalnya cuma untuk keluar dari Angke.
Sesampainya di luar, masih belum banyak kendaraan yang melintas, terutama kendaraan umum. Penumpang lain yang dari Angke barengan sama rombongan kami, turun duluan. Kami ragu, antara turun atau nggak. Di sana ngga ada angkutan umum sama sekali. Taksi ada yang lewat beberapa, tapi... ya pasti mahal lah! Apalagi pas denger kabar banjir masih tinggi di daerah sana. Jadi kami terusin naik odong-odong, bilang, kalo kita mau dianterin sampe ada halte Transjakarta, posko banjir, atau pilihan terakhir, stasiun Kota.
Bener aja, masuk ke kawasan Pluit, banjir. Jalanan ramai dengan kegiatan evakuasi. Awalnya banjir belum parah, namun, semakin ke sana, banjir semakin keliatan parah. Beuh, terisolasi. Wahyu langsung memainkan kamera. Jepret sana, jepret sini.
Semua ramai. Warga yang lagi ribet mengangkut barang-barangnya, yang lagi sibuk naik ke perahu karet, yang mengungsi, polisi yang sibuk mengevakuasi, dan mobil-mobil media yang siap meliput serta masih banyak lagi. Semua ribet, semua sibuk, semua bad mood kayaknya. Pemandangan yang sangat tidak menyenangkan, sungguh miris mengingat kami baru saja dimanjakan dengan pemandangan tak terelakkan indahnya.
Semua ramai. Warga yang lagi ribet mengangkut barang-barangnya, yang lagi sibuk naik ke perahu karet, yang mengungsi, polisi yang sibuk mengevakuasi, dan mobil-mobil media yang siap meliput serta masih banyak lagi. Semua ribet, semua sibuk, semua bad mood kayaknya. Pemandangan yang sangat tidak menyenangkan, sungguh miris mengingat kami baru saja dimanjakan dengan pemandangan tak terelakkan indahnya.
Mau turun ke pos polisi biar dievakuasi, tapi kok kayaknya ragu gitu...
Ini beberapa foto yang kami (sebenernya sih, Wahyu) ambil. Banjir Jakarta (Utara).
Ini beberapa foto yang kami (sebenernya sih, Wahyu) ambil. Banjir Jakarta (Utara).
Bahkan jalan tol pun dibuka untuk sepeda motor dan odong-odong yang kami naiki
Di Tidung, airnya biru
Sampai di Jakarta, airnya cokelat
Di Tidung, kami banana-boating
Sampai di Jakarta, kami odong-odong-ing dan gerobak-ing
Sesampainya di stasiun Kota, Revi yang masinis langsung nyari tiket KRL buat pulang ke Bekasi. Kami lega karena sebentar lagi sampai ke rumah. Sudah, penderitaan sudah selesai, melewati banjir, naik odong-odong yang jadi mahal banget bayarnya, naik gerobak, dan jalan kaki banjir-banjiran lagi menuju stasiun. Semua bercampur jadi satu, lesu, bete, kesal, capek, laper, semuanya. Then...
R: "waduh, semua KRL di-cancel hari ini, masih belum bisa lewat, masih banjir. Ck."
Semua makin lesu, makin bete, capek, laper, kesal. Hopeless. Gimana kita pulang??
"yah, trus gimana dong?"
"tadi harusnya kita turun pas ada posko biar bisa ikut dievakuasi."
"haduh, gue ngga tau lagi nih."
Penderitaan belum selesai...
Gue juga bingung, ngga tau harus gimana. Ngeliat semuanya udah pada bete dan capek. Itu pasti, gue juga. Gue ngga tau apa yang harus gue lakukan, tapi kaki gue memaksa gue melangkah, pergi meninggalkan temen-temen gue yang terduduk di dalam stasiun. Gue ngga tau apa yang gue pikirin, tapi gue mau keluar dari situ...
Gue lihat keadaan di luar stasiun. Di luar, ngga ada mobil polisi, tim SAR, atau posko banjir dan evakuasi apapun. Yang ada cuma mikrolet (angkutan umum) dan Transjakarta. Transjakarta? Apa bisa? Gue ngga yakin. Waktu itu bus-nya lagi ngga jalan, jadi gue ngga yakin kami memilih naik Transjakarta. Sisanya tinggal mikrolet.
L: "bang, ini mikroletnya sampe (daerah) mana ya?" gue yang tadinya ngga kepikiran buat nanya, akhirnya nanya juga.
Bang mikrolet: "sampe Tanah Abang, neng."
L: "oh, makasih ya bang."
B: "mau naik ngga, neng?"
L: "ntar dulu bang, tanya yang lain dulu." bodohnya, kenapa gue ngga telepon aja salah satu temen gue, biar ngga usah bolak-balik. Tapi gue takut, di situ abang-abang semua. Jadi gue balik lagi ke dalam stasiun. Mungkin kalo dari Tanah Abang, ada kereta yang jalan, pikir gue.
R: "Tanah Abang? Wih, itu mah parah banjirnya! Paling ngga, tuh, dari Senen." gue kaget. Sial, terus kita gimana dong pulangnya?!!
L: "ha? Senen ya?" gue balik lagi ke luar.
L: "kalo ke Senen bisa ngga bang naik ini?"
B: "emang neng mau ke mana?"
L: "mau ke Bekasi, bang. Tapi keretanya ngga jalan semua."
B: "oh ke Bekasi mah bisa naik ini ke Senen."
L: "yang bener bang? Ntar dulu, mau tanya lagi."
Gue balik lagi ke dalam stasiun untuk ngabarin kalo mikroletnya bisa ke Senen. Waktu itu gue ngga kepikiran kalo di Senen ada metromini 47 yang ke Pondok Kopi. Patokannya Pondok Kopi, karena itu yang paling familiar buat kita dan paling dekat Bekasi, yang artinya, dekat rumah. Pas inget, langsung gue cepetin langkah gue sampe hampir kepleset di tangga pintu masuk stasiun.
L: "ayo kita naik mikrolet ke Senen. Di Senen, nanti kita naik 47 ke Pondok Kopi."
Untuk memastikan, Revi dan Wahyu, para cewek cowok, ke luar, ke tempat mikrolet dan nanya-nanya.
W: "bener ke Senen, ayo kita naik mikrolet aja. Tadi ada ibu-ibu juga yang mau ke Bekasi."
Angin segar. Kami jadi lebih tenang. Bete, lesu, kesal, jadi berkurang. Tapi capek masih menyerang.
Ah, yang penting, kami bisa pulang...
I: "sumpah ya, semuanya ini gue baru pertama kali. Pertama kali mati lampu pas ke Tidung, pas baru nyampe lagi! Pertama kali naik kapal pas ombaknya lagi tinggi banget..."
R: "pertama kali banana-boating di Tidung."
I: "itu sih, emang dulu belom ada banana-boat di Tidung."
L: "pertama kali ngga dijemput bokap lo kan, Ka? Hahaha"
I: "iya! Trus pas naik kapal pulang, itu pertama kalinya naik kapal dengan ombak yang setenang itu. Itu ombak tertenang selama gue naik kapal dari Tidung."
D: "pertama kali banjir-banjiran pas pulang."
I: "iya! Sumpah ya kalian bener-bener ngasih sesuatu yang baru."
W: "hahaha iya dong. Seru kan jadinya..."
Thank you Ikaaa!
Thank you for the amazing island!
Hahahaha!! :D
*sorry for late post by the way, and thank you for keep reading and visiting :D
*sorry for late post by the way, and thank you for keep reading and visiting :D
No comments:
Post a Comment